Minggu, 21 Oktober 2012

Menelaah Kehidupan Masyarakat Kampung Sekatul




Wiyosan Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Hari Djojonagoro
di “Wisata Kampung Jawa Sekatul”, Desa Margosari, Kecamatan Limbangan, Kendal, Jawa Tengah


Perhatian saya tertuju pada sebuah kampung yang bernafaskan budaya jawa, tentu bukan hanya sekedar melihat dan menikmati saja, lebih jauh mencoba menelaah kebudayaan di kampung ini.
Sabtu, 21 Oktober 2012 pukul 5 sore, suasana pedesaan dengan segala ketenangan dan keindahannya memaksa saya sejenak untuk singgah di kampung sekatul, apalagi hawa dingin kaki pegunungan ungaran membuat enggan beranjak pergi.
Ya, Kampung Jawa Sekatul, merupakan salah satu wilayah di kelurahan Margosari, kecamatan Limbangan, kabupaten Kendal, provinsi Jawa Tengah. Di kampung wisata ini memiliki masyarakat yang homogen. Sebagian besar mata pencahariannya adalah sebagai petani dan pengelola kampung jawa sekatul.
Menurut masyarakat sekitar berdasarkan keadaan topografi, kampung sekatul membentuk sebuah keris luk tiga, atau disebut tanah jangkung yang artinya tanah yang dilindungi. Secara geografis kampung di sekatul dikelilingi oleh sungai yang mengalir dan berbatasan dengan empat desa yaitu disebelah selatan desa tanggul angin, disebelah timur desa pager ruyung, disebelah utara desa pagerwojo, dan disebelah barat desa pagertoya.
Oleh masyarakat setempat, kampung ini dibentuk sedemikian rupa sesuai dengan keadaan masyarakat jawa yang sebenarnya, hal ini bisa dilihat dari bentuk fisik bangunannya yakni joglo. Selain itu kehidupan masyarakat sekatul berorientasikan pada nilai-nilai kearifan lokal serta adat istiadat, tradisi dan budaya  jawa, seperti diadakannya  upacara-upacara selamatan dan ruwatan.

Prajurit Pengawal
 Malam ini tidak seperti malam biasanya, terlihat pasukan prajurit sedang berbaris rapi didepan joglo. Di dalam joglo pun nampak ramai dengan berhiaskan 3 gunungan.
Senjata satu-satunya yang saya bawa adalah sebuah kamera digital agar bisa melihat apa yang sedang dilaksanakan di dalam joglo tersebut. Agak susah payah memang, karena harus mengambil posisi yang sekiranya tidak mengganggu jalannya upacara.
Beberapa kali terdengar mantra-mantra jawa diucapkan ditimpali kidung-kidung berirama dan sarat makna menambah sakralnya upacara ini.




Nampaknya ini adalah acara Wiyosan KPH adipati Hari Djojonagoro, merupakan acara pelestarian budaya jawa berupa "suka tani suka" atau suka cita atas hasil panen masyarakat sekatul. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya 3 gunungan yang diletakkan di dalam joglo. 

Sekali lagi tembang-tembang itu dilantunkan dengan indahnya. Seluruh Baraya-baraya yang hadir khidmat dalam upacara tersebut. Dalam acara tersebut digambarkan cerita tentang Dewi Sri, yakni manivestasi tentang kehidupan yang sejahtera, mengajarkan agar setiap manusia tidak memakan hasil orang lain sehingga masyarakat bisa hidup makmur dan bersyukur atas hasil yang diperoleh.
Cerita lengkap tentang Dewi Sri atau Dewi Kemakmuran bisa di baca di link ini http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/267-Dewi-Sri-Dewi-Kesuburan#

 Gunungan pertama yang disajikan dalam upacara tersebut adalah Gunungan Padi yang dibentuk
Lingga (Lanang) merupakan padi langka/pari jero yang berumur 6 bulan lebih.
Gunungan Lanang/ Pari jero

Gunungan ke dua yakni hasil-hasil tanaman masyarakat sekatul, gunungan ini dibentuk Yoni (Wadon)
Gunungan Yoni (Wadon)
Sedangkan Gunungan yang ketiga berupa beras merah dan putih